Rethinking Performance Management for Startups

by Raisa Nabila

Saat pertama kali bekerja dan memiliki atasan, saya selalu deg-degan setiap kali memasuki performance review cycle. Waktu itu, saya bekerja di sebuah startup dan kinerja setiap orang dinilai setiap tiga bulan sekali berdasarkan pencapaian goal atau OKR. OKR tersebut ditentukan di awal kuartal di dalam pertemuan 1-on-1 antara manajer dan direct report.

Bagaimana tidak deg-degan? Pertama, ada beberapa OKR saya yang tidak tercapai 100%. Alasannya: ada banyak faktor di luar kontrol saya yang turut menentukan keberhasilan saya mencapai OKR, termasuk kontribusi tim lain yang seringkali tidak bisa terlalu saya intervensi. Saya merasa iri dengan teman kerja yang akan selalu bisa “meet expectation” karena sifat pekerjaannya yang lebih sederhana dan tidak ada sangkut-paut dengan tim lain. Selain itu, karena saya bekerja di startup yang memang terkadang masih menavigasi arah bisnisnya, terkadang OKR saya berubah di tengah-tengah kuartal, sehingga saya harus mulai dari nol dan memutar otak lagi.

Kemudian, saya pindah kerja, dan di kantor baru ini, kinerja saya tidak lagi dinilai berdasarkan OKR/pencapaian goal. OKR tetap ada, tapi perannya hanya untuk alignment (menciptakan sinergi dari atas ke bawah dan antar departemen) dan untuk membantu tim fokus dengan goal utama setiap kuartal-nya. Penilaian kinerja karyawan menggunakan penilaian atribut atau perilaku, seperti Quality of Work, Communication, Timeliness, dan lain-lain dengan skala 1 sampai 5.

Di kantor ini juga saya pertama kali memilik direct report atau bawahan. Masalah saya berubah, dari yang awalnya deg-degan saat dinilai, sekarang jadi deg-degan saat menilai. Saya selalu punya “perasaan” tentang siapa dari anggota tim saya yang selalu bisa diandalkan, dan siapa yang tidak. Namun, saat sedang mengisi penilaian kinerja, sungguh saya sangat bingung. Apa itu 1, 2, 3, 4, dan 5? HR sudah cukup membantu dengan memberikan deskripsi/definisi untuk setiap angka. Namun, muncul lagi masalah lain.

Apakah kalau bawahan saya komunikasinya kurang baik (2), tapi kualitas pekerjaannya luar biasa (5), angka rata-rata yang diperoleh ujung-ujungnya hanya 3.5? Padahal, perasaan saya mengatakan bahwa orang ini di atas rata-rata dan setidaknya harus mendapat 4. Bagaimana bisa saya bersikap adil lewat angka-angka ini?

APA YANG SALAH DARI PERFORMANCE MANAGEMENT SAAT INI

Dari dua pengalaman ini, saya kemudian terus mencari referensi mengenai Performance Management, karena saya merasa ada yang janggal dari cara kita menilai kinerja karyawan. Saya menemukan bahwa ada banyak perusahaan yang terlalu fokus mengukur kinerja, tetapi justru lupa mengelola dan meningkatkan kinerja. Dari sinilah kemudian banyak perusahaan yang menggalakkan pertemuan 1-on-1 atau frequent check-ins, dengan harapan manajer bisa memberikan feedback atau umpan balik terhadap kinerja jauh sebelum performance review cycle dimulai, supaya tidak ada “kejutan” saat performance review nanti.

Kemudian, saya juga menemukan bahwa ternyata banyak perusahaan membuat keputusan kontroversial untuk meninggalkan praktek performance review. Namun, tentu ini menimbulkan masalah lagi, karena bagaimana mungkin kita bisa membuat keputusan kenaikan gaji atau promosi tanpa basis data kuantitatif.

Pertanyaan saya pun menjawab setelah memahami bahwa masalahnya terletak bukan di praktek performance review. Masalahnya terletak di pemilihan instrumen atau pertanyaan-pertanyaan yang kita tanyakan. Desain instrumen performance review berdasarkan pada dua asumsi yang kurang tepat:

1) Kita berasumsi seseorang baru bisa dikatakan “high performer” jika memiliki skor baik di hampir semua komponen penilaian, layaknya ranking di zaman sekolah dahulu. Padahal, di dunia kerja, orang yang karirnya terus berkembang adalah mereka yang memiliki kelebihan hanya di beberapa area saja, dan kekurangannya di area lain disokong oleh anggota timnya.

2) Kita berasumsi bahwa, sebagai manusia, kita bisa dengan objektif menilai orang lain. Padahal, secara esensi, tidak ada penilaian yang objektif. Semua penilaian adalah berdasarkan pengalaman kita dengan orang tersebut. Performance review cenderung memaksa hal yang abstrak dan subjektif menjadi konkret dan objektif.

Selain dua asumsi di atas, di startup atau bisnis yang sedang berkembang pesat, kita juga terkadang berasumsi bahwa kita memerlukan sistem penilaian kinerja yang sophisticated seperti yang digunakan perusahaan-perusahaan yang sudah besar dan matang. Padahal, perilaku karyawan yang dibutuhkan startup berbeda dengan perilaku karyawan yang dibutuhkan perusahaan yang sudah stabil.

APA SOLUSINYA?

Performance management adalah salah satu topik favorit saya dan saya ingin lebih banyak orang tahu mengenai bagaimana kita bisa “rethinking performance management”. Mari berdiskusi di workshop saya mengenai Performance Management for Startups pada hari Rabu, 26 Oktober 2022 nanti. Lihat info lebih lanjut di sini: http://cerdaskolektif.com/performance-bootcamp